Wednesday, February 16, 2011

Surat Tanpa Alamat Pasti

Selamat malam,

Halo, sepertinya sudah lama saya tidak bertegur sapa dengan Anda dengan cara seperti ini. Ingin rasanya saya bertanya begitu banyak hal yang saya pendam selama ini. Bukan maksud saya untuk melupakan dan berhenti mempercayai Anda. Namun, beberapa orang beranggapan bahwa harus melalui berbagai cara yang begitu beragam untuk berhubungan dengan Anda. Dahulu saya tahu, tetapi saya tahu karena itu merupakan suatu kebiasaan, bukan berasal dari kesadaran diri saya sendiri. Sampai kapanpun saya selalu percaya dengan Anda, tak akan pernah sedikit pun kepercayaan saya ini berkurang kepada Anda. Tapi saya hidup disini, di tempat bernama dunia di mana terdapat cara-cara tersebut ada. Mengetahui tentang hal tersebut saya menjadi berfikir, apakah sesulit itukah untuk berhubungan dengan Anda? Sampai saat ini saya masih agak sulit untuk mengetahuinya.
Saya mempunyai seorang teman, dia salah satu tempat terbaik untuk membicarakan tentang hal ini. Namun, karena satu dan lain hal, untuk melakukan pembicaraan seperti ini sudah sulit untuk dilakukan sebab adanya perbedaan ruang, jarak, dan waktu. Saya yang semakin bertambah kedewasaannya, harus menghadapi ini sendiri. Bukannya bagaimana, agak sulit untuk membicarakan hal seperti ini dengan orang lain yang baru, jika Anda mau tahu, tapi saya yakin Anda pasti tahu. Jujur saja, saya tidak ingin selamanya saya begini, Anda pasti tahu kan? Waktu, ya itu mungkin yang saya butuhkan dan mungkin saya harus bertemu dengan satu orang lainnya yang tepat untuk membicarakan hal ini selain Anda.
Sekali lagi, Anda pasti sudah tahu tanpa harus saya memberitahunya, tetapi saya ingin Anda tahu, bahwa dalam setiap saya bernafas dan setiap inci kehidupan yang saya jalani, saya tahu Anda itu ada. Semoga cepat atau lambat saya mengetahui jawaban atas semua ini ya.


Terima kasih,
sudah selalu mau mendengarkan saya.





*oya, maaf sebelumnya kalau saya lancang memanggil dengan kata "Anda", Tuhan.

Sunday, February 6, 2011

Mau dan Suka

Begini, ini sebenarnya hanya tulisan dari hasil menasehati kakak saya sendiri. Saat itu awalnya ini bisa terjadi ketika kakak saya mengalami kebuntuan dalam mengerjakan tulisan untuk lomba. Saat itu saya bertanya kenapa dan dia merasa tulisannya kurang maksimal. Saya kembali menanyakan kepada kakak saya sebenarnya tujuan dia mengikuti lomba ini apa, dia berpikir panjang dan ternyata dia sadar dia mengikuti lomba ini karena ingin menang. Ketika pikiran menang sudah tertanam di awal saat mau menulis, ide kreatif dan ide spontan akan sulit muncul. Memang tidak ada salahnya memiliki atau menanamkan keinginan menang dimulai dari awal menulis dalam lomba. Jadi, saya menasehati kakak saya demikian,
Kalau kamu mau menulis, jangan menulis karena mau menang.
Kamu harus nulis karena kamu memang mau menulis dan kamu suka
menulis.
Jadi, berangkat dari sinilah saya mulai mencerna kata-kata saya sendiri, yaitu mau dan suka. Kedua hal ini sebaiknya atau mungkin seharusnya kita terapkan dalam kehidupan kita sendiri, terutama dalam mengambil suatu pilihan, misalnya saja jurusan. Kalau memilih jurusan jangan karena ada teman atau alasan lainnya. Pahami jurusan itu, kamu mau masuk jurusan itu apa tidak? Kalau kamu sudah punya kemauan, pasti disaat menjalaninya, seiring dengan waktu kamu akan menyukainya.
Penjelasannya mungkin bisa seperti ini. Dalam kehidupan, kita dihadapkan dengan berbagai macam pilihan, mulai dari yang paling mudah sampai yang kompleks. Untuk menentukan suatu pilihan dalam menjalaninya, kita perlu berpikir tentu saja dan dalam berpikir inilah unsur mau serta suka harus dimasukkan. Pahamilah, jika kamu memiliki kemauan akan sesuatu, itu artinya kamu yakin dengan apa yang kamu mau, sehingga nantinya kamu akan menyukai apa yang telah dipilih oleh kemauan dirimu dan nantinya semua akan berjalan dengan baik.
SALAM!

Tuesday, February 1, 2011

Cina, tetapi bukan.

Kalau belum mengenal saya, perkenalkan nama saya Khairunnisa. Nama islam bukan? Lalu mengapa judul kali ini tertulis tentang Cina. Ini semua bagi yang telah melihat dan bertemu saya secara langsung akan langsung menebak saya adalah keturunan Cina. Namun, jangan langsung mengambil keputusan, saya bukan keturunan Cina, mungkin saja iya, tapi sejauh ini saya hidup belum ada pernyataan resmi bahwa saya keturunan Cina.

Sebelum membahas lebih lanjut tentang tulisan ini, sebenarnya mana yang benar cara penggunaannya, Cina, China, atau Tionghoa? Menurut pengalaman teman saya yang sedang menulis skripsi di jurusan bahasa Mandarin, penggunaan kata Cina itu dianggap kurang sopan. Lalu, dosennya menyarankan menggunakan kata China. Namun, selang berapa lama ternyata penggunaan kata ini diubah lagi dengan kembali menggunakan kata Cina, tetapi saya kurang ingat alasan pastinya apa. Kemudian kata terakhir, yaitu Tionghoa. Kalau untuk yang satu ini berdasarkan pengalaman pribadi, saya beberapa kali sering mendengar orang menyebutkan orang yang keturunan bangsa Cina dengan keturunan Tionghoa daripada menggunakan kata Cina. Jadi manakah yang benar, penggunaan kata Cina, China, atau Tionghoa? Saya sendiri belum mengetahuinya lebih lanjut, mungkin setelah membaca salah satu buku saya akan menemukan jawabannya. Untuk saat ini saya akan menggunakan kata Cina.

Kembali ke cerita yang saya ingin tuliskan. Keturunan Cina sudah melekat dengan saya dari mulai saya masih bayi. Mengapa demikian? Karena saat terlahir warna kulit saya sangat putih dan mata yang sangat kecil atau biasa disebut dengan sipit. Sampai-sampai menurut cerita nenek, saudara, ibu, dan kakak yang menyaksikan saat saya lahir, saya susah untuk membuka mata saking kecilnya. Oke, hal lainnya yang membuat saya terlihat semakin Cina, yaitu sewaktu saya masih kecil dan tinggal di Yogyakarta, saya sering diajak jalan-jalan keluar rumah oleh kakek saya dan tebak apa pendapat mereka saat melihat saya? Mereka membuat nama baru untuk saya yang berwajah Cina ini dengan nama.................... LING LING. Jadi, sejak saat itu saat tetangga yang sudah sangat lama bertemu saya, mereka tidak ingat nama asli saya, yang mereka ingat adalah si Ling Ling itu. Cerita berlanjut saat saya masih SD dan saat itu sedang terjadi kerusuhan Mei 1998, di mana masyarakat etnis Cina menjadi sasaran penyerangan. Saya yang kebetulan berwajah Cina tapi bukan Cina, terpaksa tidak boleh keluar rumah tanpa ada yang menemani, untuk bermain ke rumah teman pun saya tidak mendapatkan ijin.

Kemudian saya memasuki masa SMP dan SMA di mana saya menghabiskan masa itu dengan bersekolah di salah satu sekolah yang memang mayoritas etnis Cina dan tebak! Saya tidak merasa asing lagi karena banyak yang serupa seperti saya. Dulu saat masih di lingkungan SD yang berwajah seperti saya bisa dihitung dengan jari, tetapi saya tertolong oleh nama saya yang bernuansa islami untuk mengarungi masa SD. Berwajah Cina juga sering menguntungkan saya di beberapa kondisi, seperti kalau (maaf) lagi (maaf lagi) malas puasa, bagi orang baru mereka tidak akan bertanya karena wajah saya seperti ini. Kalau istilah diantara teman kuliah, muka seperti saya ini disebut "MUNON" singkatan dari muka-non. Artinya muka-non adalah muka yang non islam tapi sebenarnya mereka islam haha.

Bagi saya pribadi berwajah Cina bukanlah suatu masalah, mau Cina atau bukan masih manusia kan, masih sama-sama diciptakan Tuhan. Terima kasih karena salah satunya dulu ada Alm. Gus Dur yang membuat masyarakat etnis Cina kini dapat hidup dengan tenang dan menyatu dengan yang lainnya. Tidak ada gunanya membedakan satu etnis dengan etnis lain, tidak ada satu pun yang lebih unggul dan lebih hebat, semuanya sama.




Tulisan ini dibuat juga untuk menyambut perayaan Imlek 2011,

Gong Xi Fat Cai! Angpao Na lai!